Awal Karier: Pameran Solo Pertama Saya dan Kurva Pembelajaran yang Curam
Menjadi fotografer profesional merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan uji-coba, dan banyak sekali proses yang meliputi kesalahan yang kita lakukan dan memetik pelajaran darinya. Dalam artikel kedua serial renungannya, GOTO AKI menceritakan kepada kita mengenai pelajaran yang ia petik pada awal kariernya sebagai fotografer profesional, sejak pameran solo pertamanya dan setelahnya. (Naskah: GOTO AKI)
Cuplikan foto dari pameran solo kedua GOTO AKI. Diambil di rumah seorang musisi asal Bulgaria.
Penampilan perdana pada pameran solo pertama, tetapi tidak ada pekerjaan yang datang...
Fotografi di sekolah tempat saya belajar, merupakan tempat pelatihan bagi para fotografer. [Artikel sebelumnya memuat lebih banyak mengenai awal perjalanan GOTO AKI merambah fotografi.] Setelah lulus, saya mengajukan permohonan untuk mengadakan pameran solo dengan menggunakan hasil karya dari portofolio yang saya bawa ke New York, dan langsung dipilih. Jadi, begitulah keputusannya, bahwa saya akan mengadakan pameran solo pertama saya pada tahun 1999.
Rangkaian karya pertama saya merupakan foto jalanan yang diambil dalam film hitam-putih di Bangkok dan Shanghai. Saya juga cukup beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengadakan rangkaian karya seni kedua saya pada tahun berikutnya, tahun 2000. Rangkaian kedua ini terdiri atas foto hitam-putih yang diambil dengan kamera 4x5 selama 3 tahun, dan memperlihatkan warga asing yang tinggal di Jepang, difoto di rumah mereka.
Mengadakan pameran solo yang di galeri bersejarah di Jepang, saya memiliki harapan sekilas bahwa, saya akan mampu menghasilkan uang dari fotografi. Saya menipu diri sendiri, meyakini bahwa saya akan memiliki awal yang mulus sebagai fotografer, namun pada kenyataannya, pekerjaan tak kunjung datang. Pelajaran yang saya petik setelah mengadakan pameran solo karya pertama saya, merupakan kenyataan, bahwa banyak fotografer di Jepang yang menghasilkan proyek mereka sendiri dengan menggunakan uang yang diperoleh dari fotografi komersial. Hal ini membuat saya berpikir tentang memperoleh uang melalui fotografi komersial. Namun demikian, saya menjadi sadar bahwa saya kurang pengetahuan mengenai pencahayaan dan keterampilan yang diperlukan untuk fotografi komersial. Setelah merenungkan beberapa kali, saya menyadari bahwa saya tidak akan dapat bekerja sebagai fotografer, kecuali saya memprioritaskan kepentingan pada perlengkapan, serta teknologi pengukuran dan pencahayaan.
Tidak perlu berkecil hati tentang ini. Saya membeli sebuah buku tentang pencahayaan dan mulai mempelajarinya sendiri. Saat itu masih era fotografi film. Memang diperlukan waktu dan uang, bahkan untuk mempelajari satu jenis pencahayaan, sesuatu yang tampaknya sulit dibayangkan di era fotografi digital ini.
Di suatu pojok jalan di Shanghai. Tangan seorang wanita sedang membeli sesuatu dari toko. Foto dari koleksi yang terdiri atas 30 karya.
Diambil pada saat pameran solo kedua saya, 'MIRROR SITE". Pajangan dari kira-kira 100 potret wajah yang diambil di dalam ruangan warga asing dari berbagai negara yang tinggal di Jepang.
Kamera 4x5 yang saya gunakan untuk memotret.
Mempelajari tentang pencahayaan profesional di foto studio
Pada musim gugur tahun 1999, saya memutuskan untuk berkelana ke Italia. Saya merasa bahwa ada batasnya saya bisa belajar mandiri, jadi saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kareda sudah ada banyak fotografer warga Jepang yang tinggal di Paris dan London pada waktu itu, saya ingin menantang diri saya dengan pergi ke suatu lokasi berbeda yang jauh dari tempat yang sudah umum. Pada waktu itu, seorang teman bangsa Italia, membantu mencarikannya untuk saya dan menemukan Cult Media Studio Maurizio Mantovi di Reggio Emilia.
Ia tidak sedang mencari staf pada waktu itu, tetapi saya mendesaknya, bahwa saya ingin sekali belajar mengenai pencahayaan, dan akhirnya saya dapat mengurus studionya. Saya tidak memiliki visa kerja, jadi, seandainya saya bekerja, saya tidak dapat memperoleh gaji. Alih-alih, saya menerima banyak sekali film, dan pada hari libur, saya pergi untuk memotret. Dari hari ke hari, saya belajar cara menetapkan pencahayaan di Italia, dan di sana, bahasa Inggris tidak terlalu dipahami. Meskipun setiap hari saya merasa sangat puas, namun tabungan saya habis setelah beberapa bulan, jadi, saya pulang ke Jepang.
Cult Media Studio di Italia.
Setelah kembali ke Jepang, saya menjadi fotografer profesional pada usia 28 tahun. Saya masih kurang pengetahuan dan pengalaman, tetapi saya membuat kartu nama, sambil berpikir bahwa saya akan berhasil, entah bagaimana. Karena fotografi adalah suatu pekerjaan yang tidak memerlukan kualifikasi, tidak seperti profesi lainnya, misalnya pengacara, maka mudah untuk masuk ke bidang ini. Namun setelah itu, tinggal bagaimana mengatasinya agar bisa melanjutkan.
Saya merasa gembira ketika pada akhirnya, saya dapat memulai perjalanan saya sebagai fotografer profesional, sekaligus merasa bingung, apakah saya akan berhasil atau tidak.
Fotografer, Maurizio dari Cult Media Studio dan saya.
Menerima semua pekerjaan yang datang kepada saya
Menjadi seorang profesional tidak serta-merta berarti bahwa pekerjaan akan langsung datang. Saya mulai menghubungi perusahaan produksi yang tidak dikenal, dan menjawab iklan lowongan kerja untuk sekolah fotografi dan mengambil pekerjaan kecil-kecilan. Yang bisa saya lakukan adalah mengerjakan tiap pekerjaan dengan teliti. Tak lama kemudian, saya mulai menerima pekerjaan yang berulang dari klien yang sama. Bahkan sampai sekarang, sekitar 80% pekerjaan saya adalah pekerjaan yang berulang. Selama ini saya belajar dua hal penting: Untuk melakukan pekerjaan yang saya terima dengan cara yang dapat diandalkan, dan hal itu membantu editor serta direktur membuka pintu untuk pekerjaan berikutnya.
Kartu undangan ke restoran mewah.
Pada waktu itu, saya tidak pilih-pilih mengenai konten yang saya kerjakan. Subjek bidikan saya mencakup acara pernikahan, memasak, rumah, toko, musisi, model, potret wajah orang bisnis, perjalanan, lanskap, mobil, dll. Bagaimana pun saya memutuskan untuk tidak menolak pekerjaan, jadi saya terima segala jenis pemotretan. Saya tidak membayangkan pada waktu itu bahwa pengalaman ini akan sangat bermanfaat kelak. Apabila saya melihat kembali foto-foto saya sekarang, terlihat bahwa pengambilannya buruk dan saya merasa sungguh malu.
Pada sekitar akhir tahun 2004 ketika saya sudah terbiasa memotret secara profesional, peluncuran Canon EOS-1Ds Mark II, DSLR full-frame, resolusi tinggi, memungkinkan saya mengambil foto yang sesuai untuk dicetak pada kertas ukuran A3. Ini merupakan kamera yang ultra canggih, dan harganya sekitar 800.000 yen pada waktu itu. Kamera ini juga merupakan perlengkapan yang mahal bagi pemula seperti saya, tetapi kamera ini memiliki 4,5 megapiksel lebih banyak daripada kamera lainnya yang ada di pasar. Saya berpendapat bahwa, jika saya menggunakan perlengkapan yang mutakhir, cakupan pekerjaan saya akan luas, jadi saya memberanikan diri dan membelinya. Saya menyingkirkan perlengkapan yang sudah saya gunakan sampai saat itu, dan mengganti semua lensa lama dengan yang baru.
EOS-1Ds Mark II, yang dirilis pada bulan November 2004. Dengan resolusi gambar sekitar 16,7 megapiksel dan sensor CMOS full-frame 35mm, kamera ini memang layak membanggakan spesifikasi yang tertinggi kamera DSLR yang tersedia pada waktu itu.
Dengan begitu, pergeseran saya ke DSLR full-frame menandai awal berakhirnya masa saya sebagai pemula. Tibalah waktunya bagi saya untuk maju ke langkah berikutnya dalam karier saya.
Bidikan yang saya ambil, yang mencakup musisi, model, dan untuk katalog merek fashion.
Bidikan pada acara pernikahan untuk situs web suatu klub berdasarkan keanggotaan.
Untuk membaca sejumlah artikel yang ditulis oleh GOTO AKI, klik di sini
5 Alasan Mengapa EOS 5D Mark IV Ideal untuk Fotografi Lanskap
4 Kunci Membidik Lanskap Menjelang Fajar
EF16-35mm f/4L IS USM: Fotografi Lanskap yang Mencengangkan, Bahkan Dengan Pemotretan Genggam
Menerima pembaruan termutakhir tentang berita, saran dan kiat fotografi dengan mendaftar pada kami!
Mengenai Penulis
Lahir pada tahun 1972 di Prefektur Kanagawa dan lulus dari Sophia University serta Tokyo College of Photography. Goto menerbitkan koleksi karya foto yang berjudul "LAND ESCAPES" dan juga terlibat secara aktif dalam pembuatan karya seperti “water silence” suatu instalasi yang menggabungkan foto dengan video.