Bagi fotografer lanskap, GOTO AKI, menjadi fotografer profesional bukan merupakan pilihan pertama bagi kariernya. Dalam serial 6 bagian ini, instruktur Klinik Foto Canon berbagi pengalaman tentang perjalanannya menuju fotografi profesional dengan harapan memberikan inspirasi bagi para fotografer yang bercita-cita tinggi. (Naskah: GOTO AKI)
Lembar kontak yang saya bidik di Koh Samet, Thailand ketika saya masih di bangku sekolah fotografi. Bahkan, tanpa mengatakannya secara lantang, bunyi rana menyampaikan keinginan saya untuk menangkap foto, dan seorang pria yang berpaling ke arah saya, setelah membidik separuh jalan. Semua bidikan ini diambil dengan film monokrom.
Perjumpaan di gurun Sahara yang memicu perubahan minat dalam hidup ke fotografi
Apa impian Anda?
Semenjak saya berusia sekitar 10 tahun, saya punya impian, berkelana ke seluruh dunia. Impian itu menjadi kenyataan pada tahun 1993 ketika saya berusia 21 tahun, saat mengambil cuti dari universitas untuk berkelana ke seluruh dunia.
Pada waktu itu, saya tidak begitu berminat dalam fotografi, dan saya menghabiskan waktu dalam perjalanan, memikirkan tentang apa yang akan saya kerjakan di masa depan. Dan saya hanya membawa kamera film saku pada perjalanan itu. Karena saat itu adalah era pra-internet, saya mengandalkan kata-kata dari para backpacker yang saya jumpai ketika menginap di pondokan yang murah. Setiap hari menggairahkan, dan saya mengalami keadaan dunia, berhubungan dengan berbagai budaya dan rakyat yang tidak saya kenal, dan mengagumi pemandangan yang saya jumpai.
Pada perjalanan saya ke Gurun Sahara, saya bertemu dengan seorang fotografer berkebangsaan Jepang, usianya 7 tahun di atas saya. Sewaktu mendengarkan bunyi rana DSLR yang kering, tertelan oleh gurun, saya memikirkan, betapa senangnya kalau saya bisa menjadi seorang fotografer, dan terus berkelana. Perasaan samar-samar penuh dambaan inilah yang memicu minat saya dalam fotografi.
Di bagian utara Sahara, sewaktu berkelana ke seluruh dunia, dan usia saya sekitar 21 tahun.
Wajah orang yang tersenyum, yang saya jumpai di perjalanan, dan lanskap mencengangkan serta masih belum terjamah, yang tak terhitung banyaknya, dan yang saya lihat dari bus yang saya tumpangi, telah meninggalkan bekas di sanubari saya. Sekembalinya ke Jepang, setelah berkelana selama 8 bulan, saya membeli kamera SLR manual dan lensa 50mm, yang direkomendasikan oleh seorang teman. Bukannya lebih menginginkan menjadi seorang profesional atau seniman, saya malahan hanya ingin mengambil foto. Itulah yang ada di benak saya ketika mengambil kamera.
Untuk mengambil foto, saya berkelana berkeliling ke dunia yang baru dan asing bagi saya
Setelah lulus dari universitas, saya ingin bekerja di luar negeri, jadi saya bergabung dengan sebuah perusahaan perdagangan. Sewaktu mengerjakan berbagai proyek, seperti proyek saluran pipa gas alami antara Thailand dan Myanmar, dan mengekspor produk baja untuk konstruksi menara Petronas di Malaysia, setiap kali saya bepergian ke luar negeri untuk urusan bisnis, saya akan meluangkan waktu untuk mengambil potret dan bidikan jalanan. Dengan membawa kamera, saya terpicu untuk melangsungkan percakapan dengan orang yang tidak saya kenal, dan saya mencari lanskap yang dulu saya lewatkan, sekarang memandangnya dengan minat yang lebih dalam, tatkala saya semakin terpesona oleh fotografi.
Meskipun saya menyukai pekerjaan saya, namun ada suara dalam sanubari saya yang semakin lantang setiap hari, memberi tahu saya untuk mencari nafkah dari fotografi. Jadi, pada usia 25 tahun, saya berhenti bekerja dari perusahaan dan berkelana menjelajahi dunia fotografi. Pada saat itu, memiliki pekerjaan seumur hidup merupakan suatu norma di Jepang, jadi, apabila berhenti bekerja dari sebuah perusahaan, hal itu dianggap sebagai suatu hal yang sangat besar.
Pada akhir pekan, saat pasar digelar di pinggiran kota Ashgabat, ibu kota Turkmenistan. (Pada waktu itu, saya masih berjuang dengan pemfokusan manual.)
Foto jalanan yang diambil ketika melakukan perjalanan bisnis ke Mongolia, di Pedalaman Tiongkok. Saya dikelilingi oleh padang rumput yang lapang ke mana pun saya pergi. Perjalanan itu membuat saya terkesima oleh luasnya negeri Tiongkok.
Sewaktu mengagumi karya fotografer, seperti Elliott Erwitt, Man Ray, dan Michael Kenna di rumah, saya terpesona oleh ekspresi yang sangat kontras dalam monokrom, jadi saya membuat kamar gelap saya sendiri di rumah dan mulai mengembangkan berbagai foto. Walaupun saya tidak memikirkan, bagaimana saya akan mencari nafkah pada saat itu, namun hati saya bergelimang kegembiraan yang berlimpah saat memulai perjalanan menuju dunia fotografi.
Berbagai koleksi foto yang mengajari saya tentang ekspresi yang sangat kontras dan kental dalam monokrom.
Bertemu Robert Frank
Saya kemudian mendaftarkan diri di sekolah fotografi spesialis, Tokyo College of Photography, yang juga bisa dibilang sebagai arena pelatihan bagi para seniman. Suatu hari, mantan guru saya, mendiang Kiyoshi Suzuki, seorang fotografer, mengajak saya ikut bersamanya ke New York untuk bertemu dengan Robert Frank, yang sudah menjadi temannya sejak tahun 1972. Pada waktu itu, Robert Frank sudah menjadi legenda dalam dunia fotografi, dan merupakan seniman yang sangat memengaruhi sejumlah fotografer di seluruh dunia.
Secara saksama, saya memilih 30 bidikan jalanan yang diambil di Bangkok dan Shanghai, lalu menyusunnya dalam sebuah portofolio. Kami berada di Atelier New York, tempat Frank meluangkan waktunya, melihat foto-foto saya tanpa berkata-kata. Ia menunjukkan reaksi yang menyenangkan pada jenis foto yang membangkitkan imajinasi, meskipun foto itu tidak ditangkap secara jelas. Saya merasa bahwa ini menyampaikan pesan, bahwa foto adalah bentuk komunikasi visual yang bisa menyampaikan getaran perasaan dengan lebih baik daripada kata-kata.
Saya tidak akan pernah lupa santapan lobster yang sangat besar, yang kami santap bersama di Grand Central Station, New York. Ketika ia menanyakan, apakah santapannya lezat, saya menjawab, "Ya", tapi sesungguhnya, pada saat itu saya terlalu bergairah, untuk bisa mencicipi apa pun.
Dengan Robert Frank di atas atap, di Atelier New York. (Foto oleh: Kiyoshi Suzuki)
Portofolio bidikan jalanan yang saya bawa ke New York.
Setelah kembali ke Jepang, saya membenamkan diri di perpustakaan sekolah fotografi. Saya melihat sekian banyak foto dari semua cara genre, dan mengesampingkan citarasa saya sendiri, demi mengalami sejarah fotografi dengan mata saya sendiri. Saya merasakan bahwa saya tidak bisa mengatakan bahwa karya saya adalah baru, tanpa terlebih dulu memahami sejarah fotografi. Kemudian, saya membeli rol film 30 meter yang harganya murah, lalu menghabiskan uang sebanyak yang bisa saya dapatkan, untuk fotografi.
Sebagian film foto yang saya ambil sewaktu masa saya belajar di sekolah fotografi.
Bahkan sampai sekarang, saya masih menghargai berbagai gagasan yang saya pungut sejak waktu itu, ketika saya belajar "jangan mengambil foto subjek seperti apa adanya, tetapi ciptakan karya yang membangkitkan imajinasi Anda", dan "ketahui masa lalu untuk menciptakan karya baru".
Artikel lainnya oleh GOTO AKI:
5 Alasan Mengapa EOS 5D Mark IV Ideal untuk Fotografi Lanskap
4 Kunci Membidik Lanskap Menjelang Fajar
EF16-35mm f/4L IS USM: Fotografi Lanskap yang Mencengangkan, Bahkan Dengan Pemotretan Genggam
Menerima pembaruan termutakhir tentang berita, saran dan kiat fotografi dengan mendaftar pada kami!
Mengenai Penulis
Lahir pada tahun 1972 di Prefektur Kanagawa dan lulus dari Sophia University serta Tokyo College of Photography. Goto menerbitkan koleksi karya foto yang berjudul "LAND ESCAPES" dan juga terlibat secara aktif dalam pembuatan karya seperti “water silence” suatu instalasi yang menggabungkan foto dengan video.